Minggu, 26 April 2015

Apa itu Pendidikan Karakter?


Karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, akhlak, atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral.
Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang.
Karakter lebih memberi penekanan pada definisi psikososial yang dihubungkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses perkembangan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang juga disebut faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) dimana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang.
Jadi karakter seseorang dapat di pengaruhi oleh individunya sendiri ataupun oleh lingkungan sekitarnya.
Sedangkan Pendidikan menurut beberapa ahli dan UU sisdiknas adalah :

1.Pendidikan menurut UU sisdiknas 

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

2. Pendidikan Menurut Carter V. Good

Pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan prilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh sesuatu lingkungan yang terpimpin (khususnya di sekolah) sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan kepribadiannya.

Ada enam pilar-pilar karakter pendidikan :

1.  Trustworthiness (Kepercayaan)
2.  Recpect (Respek)
3.  Responsibility  (Tanggungjawab)
4.  Fairness  (Keadilan)
5.  Caring  (Peduli)
6.  Citizenship  (Kewarganegaraan) 


Minggu, 12 April 2015

Flowers Are Red

Ini kisah dari negeri antah berantah, yang tertuang dalam sebuah puisi berjudul "Flowers are Red".

Seorang anak laki-laki kecil masuk ke kelas pada hari pertama sekolahnya. Dia mendapati beberapa krayon dan mulai menggambar. Dengan antusias, ia memberi warna dengan semua warna yang ada, sebagaimana yang pernah dia lihat.

Datanglah ibu gurunya dan bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan, Nak?"

Sang anak menjawab, "Saya sedang mewarnai bunga."

Ibu gurunya berkata lagi, "Sekarang bukan waktunya belajar seni, Nak. Warna bunga adalah adalah merah dan hijau. Lihatlah segala sesuatu sebagaimana orang lain melihatnya. Kau harus peduli pada orang lain, jangan hanya mengikuti pendapatmu sendiri. Flowers are red, young man. Green leaves are green. Bunga adalah merah, daun adalah hijau. Tidak perlu melihat bunga dengan cara yang lain!

Tapi anak kecil itu berkata, "Ada banyak warna pada pelangi.  Ada banyak warna pada sinar matahari pagi. Banyak warna juga pada sebuah bunga. Saya melihatnya seperti itu."

Guru itu menyuruh sang anak berdiri di pojok ruangan. Dia berkata, "Ini yang terbaik untukmu. Dan kau tidak boleh kembali sebelum pendapatmu berubah."

Akhirnya, dia merasa kesepian. Rasa takut mulai memenuhi segenap hatinya. Kemudian, ia mendatangi gurunya. Dan inilah yang dia katakan, "Flowers are red. Green leaves are green. There's no need to see flowers any other way. Then the way they always have been seen!"

Waktu berlalu. Anak kecil itu pindah ke kota lain dan dia memasuki sekolah baru. Apa yang dia temukan di sekolah baru ini?

Gurunya senantiasa tersenyum dan berkata, "Mewarnai adalah hal yang sangat menyenangkan. Ada banyak warna pada sebuah bunga. Karena itu gunakanlah semua warna."

Akan tetapi apa yang anak laki-laki itu lakukan? Dari begitu banyak deretan warna yang ada pada kotak krayon itu, dia hanya mengambil krayon yang berwarna merah dan hijau. Ketika guru itu bertanya 'mengapa', inilah yang dia katakan, "Flowers are red. Green leaves are green. There's no need to see flowers any other way. Then the way they always have been seen!"

Dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa, sering kali anak di sekolah atau di rumah, di cetak hanya dengan sebuah cara pandang. Anak tak bisa bebas memilih. Dia hanya di sodori sebuah jalan untuk mendapatkan solusi dan hanya cara itulah yang dibenarkan. Padahal begitu banyak pilihan jalan yang bisa di ambil. Entah karena sang guru menganggap cara lain memang salah, atau mungkin dia merasa tidak di hargai karena kata-katanya tidak di dengar.

Hidup adalah seranngkaian proses memilih dan mengambil keputusan. Karena itulah memberikan keleluasan bagi anak untuk senantiasa memilih seini mungkin akan membuatnya terampil dalam mengambil pilihan terbaik dan siap dengan konsekuensi dari setiap pilihannya.

Kepercayaan anak kepda orang tua menjadi modal tumbuhnya mental yang sehat pada anak. Dan di sekolah guru merupakan pengganti orang tua.

Sumber : Bahagia Mendidik Mendidik Bahagia, Ida S. Widayanti